Minggu, 07 Oktober 2012

TAHLILAN DAN SELAMATAN


Assalamu'alaikum Wr.Wb.

TAHLILAN DAN SELAMATAN.
Menurut Madzhab Syafi'i.

1. Pendapat Imam As Syafi'i rahimahullah.
     Imam An Nawawi menyebutkan di dalam kitabnya, Syarah muslim demikian :

     "Adapun bacaan Al-Quran (yang pahalanya dikirimkan kepada mayit), maka yang masyhur dalam madzhab Syafi'i, tidak dapat sampai kepada mayit  yang dikirimi...
sedangkan dalilnya Imam Syafi'i dan pengikut-pengikutnya, yaitu firman Allah (yang artinya), dan seseorang tidak akan memperoleh pahala, melainkan pahala dari usahanya sendiri dan sabda Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam (yang artinya), "Apabila manusia telah meninggal dunia, maka terputuslah amal usahanya, kecuali tiga hal, yaitu sedekah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan dan anak yang saleh (laki-laki atau perempuan) yang berdoa untuknya (mayit)"
[An Nawawi, Syrah Muslim, juz 1 hal 90]

     Juga imam Nawawi di dalam Kitab Takmilatul Majmu' Syarah Muhadzab, mengatakan :

     "Adapun bacaan Al-Quran dan mengirimkan pahalanya untuk mayit dan mengganti shalatnya mayit dsb, menurut Imam Syafi'i dan Jumhurul Ulama adalah tidak dapat sampai kepada mayit yang dikirimi, dan keterangan seperti ini telah diulang-ulang oleh Imam Nawawi di dalam kitabnya, Syarah Muslim" [As Subukl, Takmilatul Majmu', Syarah Muhadzab, juz X, hal 426]


2. Al Haitami, di dalam Kitabnya Al Fatawa Al Kubra Al Fighiyah, mengatakan demikian :

     "Mayit tidak boleh dibacakan apapun, berdasarkan keterangan yang mutlak dari ulama'  Mutaqaddimin (terdahulu), bahwa bacaan (yang pahalanya dikirimkan kepada mayit) adalah tidak dapat sampai kepadanya, sebab pahala bacaan itu adalah untuk pembacanya saja, Sedangkan pahala hasil amalan tidak dapat dipindahkan dari amil ( yang mengamalkan) perbuatan itu, berdasarkan firman Allah (yang artinya), "Dan manusia tidak memperoleh, kecuali pahala dari hasil usahanya sendiri " [Al Haitami, Al Fatawa Al Kubra Al Fighiyah, juz 2, hal 9]

3. Imam Muzani, di dalam Hamisy Al Um. mengatakan demikian :

     "Rasulullah SAW memberitahukan sebagaimana yang diberitakan Allah, bahwa dosa seseorang akan menimpa dirinya sendiri seperti halnya amalnya adalah untuk dirinya sendiri bukan untuk orang lain dan tidak dapat dikirimkan kepada orang lain" [ Al Um, As Syafi'i, juz 7, hal 269]

4. Imam Al Khazin di dalam tafsirnya, mengatakan :

     "Dan yang masyhur dalam madzhab Syafi'i, bahwa bacaan Qur'an (yang pahalanya dikirimkan kepada mayit) adalah tidak dapat sampai kepada mayit yang dikirimi"
 [Al Khazin, Al Jamal, jus 4, hal 236]

5. Di dalamTafsir Jalalain, disebutkan demikian :

     "Maka seseorang tidak memperoleh pahala sedikitpun dari hasil usaha orang lain"
[Tafsir Jalalain, 2/197].

6. Ibnu Katsir dalam Tafsirnya, Tafsirul Qur'anil Azhim,  mengatakan (dalam rangka menafsirkan ayat 39 surat An Najm) :

     "Yakni, sebagaimana dosa seseorang tidak dapat menimpa kepada orang lain, demikian juga manusia tidak dapat memperoleh pahala melainkan dari hasil amalnya sendiri, dan dari ayat yang mulia ini (ayat 39 An Najm), Imam As Sfafi'i r.a. dan ulama-ulama yang mengikutinya mengambil kesimpulan, bahwa bacaan yang pahalanya dikirimkan kepada mayit adalah tidak sampai, karena bukan dari hasil usahanya sendiri. Oleh karena itu Rasulullah SAW tidak pernah menganjurkan umatnya untuk mengamalkan (mengirim pahala bacaan), dan tidak pernah memberikan bimbingan, baik dengan nash maupun dengan isyarat, dan tidak ada seorang sahabat pun yang pernah mengamalkan perbutan tersebut, kalau toh amalan semacam itu memang baik, tentu mereka lebih dahulu mengerjakannya, padahalan amalan qurban (mendekatkan diri kepada Allah) hanya terbatas yang ada nash-nashnya (dalam Al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah SAW ) dan tidak boleh dipalingkan dengan qiyas-qiyas dan pendapat-pendapat."

     Kemudian timbul pertanyaan, bagaimana kalau seandainya setiap usai tahlilan lalu berdoa :Allahumma aushil Tsawaba maa Qaaranaahu ila ruhi fulan...  ( Ya Allah, sampaikan lah pahala bacaan kami tadi kepada roh fulan..)?
     Pertanyaan ini dapat dijawab demikian : Ulama telah sepakat, bahwa pengirima pahala bacan itu tidak dapat sampai kepada roh yang dikirimi, sebab bertentangan dengan firman Allah, ayat 39 An Najm.


SELAMATAN KEMATIAN.

     Demikian juga SELAMATAN Atau berkumpul dengan hidangan makanan di rumah keluarga mayit, baik pada hari kematian, hari kedua, ketiga, ketujuh, keempat puluh, dan keseratus dsb, maupun dalam upacara yang sifatnya massal yang lazimnya dilakukan dipekuburan (maqbarah) yang biasa disebut khaul dll, yang disitu juga diadakan acara selamatan atau makan-makan, maka sebenarnya apabila kita periksa dalam kitab-kitab Syafi'iyah, baik Kitab Fiqih, Tafsir maupun Syarah-syarah hadist, maka amalan tersebut dinyatakan sebagai amalan "TERLARANG" atau dengan kata lain "HARAM".
     Hal ini tentu belum banyak diketahui oleh kalangan pengikut madzhab Syafi'i itu sendiri, atau kalau toh ada yang tahu, maka jumlahnya tidak banyak, maka marilah kita ikuti bersama bagaimana pandangan mereka tentang masalah ini.

1. Didalam Kitab Fiqih I'anatut Thalibin, dinyatakan demikian :

     "Apa yang dikerjakan orang, yaitu berkumpul di (rumah) keluarga mayit dan dihidangkannya makanan untuk itu, adalah termasuk bid'ah mankarat (bid'ah yang diingkari Agama), dan bagi orang yang membertantasnya akan diberi pahala".
[I'anatut Thalibin, Syarah Fat hul Mu'in, jus 2 hal 145].

2. Imam As Syafi'i sendiri tidak menyukai adanya bekumpul di rumah ahli mayit ini, seperti yang beliau kemukakan dalam Kitab Al Um sebagai berikut :

     "Aku tidak menyukai  ma tam yaitu berkumpul (di rumah keluarga mayit) meskipun disitu tidak ada tangisan, karena hal itu justru akan menimbulkan kesedihan baru".
[As Syafi'i Al Um, jus 1 hal 248]

3. Selanjutnya di dalam Kitab I'anatut Thalibin tersebut dikatakan demikian :

     "Dan apa yang dibiasakan orang tentang hidangan makanan oleh keluarga mayit untuk dihidangkan kepada undangan adalah bid'ah yang tidak disukai dalam agama. Sebagaimana halnya berkumpul di rumah keluarga mayit itu sendiri, karena ada Hadist shahih yang diriwayatkan  Jabir, berkata "kami menganggap, bahwa berkumpul dirumah keluarga mayit dan menghidangkan makananan adalah sama dengan hukum niyahah (meratapi mayit) yakni haram"
[I'anatut Thalibin, jus 2 hal 146].

4. Juga pengarang I'anatut mengutip keterangan dalam Kitab Bazzaziyah, sebagai berikut :

     "Dan tidak disukai menyelenggarakan makan-makan pada hari pertama (kematian), hari ketiga, sesudah seminggu dan juga memindahkan makanan ke kuburan secara musiman (seperti peringatan khaul-khail)"  [I'anatut Thalibin, juz2 hal 146].

5. Di dalam Kitab Fiqih Mughnil Muhataj, disebutkan demikian :

     "Adapun menyediakan hidangan makanan oleh keluarga mayit dan berkumpulnya orang banyak di tempat itu, adalah bid'ah yang tidak disunatkan, dan dalam hal ini, Imam Ahmad dan Ibnu Majah meriwayatkan dengan sanadnya yang sah dari Jarir bin Abdillah, ia berkata : "kami menganggap, bahwa berkumpul di rumah keluarga mayit dan menghidangkan makanan oleh keluarga mayit untuk acara itu, adalah sama hukumnya dengan niyahah (meratapi mayit, yakni haram)"
[mughnil Muhtaj, juz 1, hal 268]

     "Dan tidak ada keraguan sedikitpun bahwa mencegah umat dari bid'ah munkarat adalah berarti menghidupkan sunnah Nabi SAW, mematikan bid'ah, membuka seluas luasnya pintu kebaikan dan menutup serapat-rapatnya pintu-pintu keburukan, karena orang-orang memaksa-maksa diri mereka berbuat hal-hal yang akan membawa kepada hal yang diharamkan".
[I'anatut Thalibin, juz 2, hal 145, 146]


6. Selanjutnya pengarang Kitab tersebut mengutip Fatwa Mufti Madzhab Syafi'i, Ahmad Zaini bin Dahlan, sebagai berikut:

     "Dan di antara bid'ah yang tidak disukai agama ialah, apa yang dikerjakan orang tentang memotong binatang-binatang ketika mayit di keluarkan dari tempat bersemayamnya, atau di kuburan, dan juga menyediakan hidangan makanan yang diperuntukkan bagi orang-orang yang ta'ziah (ngelayat=Jawa) [Abdurrahman Al Jaza'iri, Al Fiqhu Alal Madzahibil Arba'ah, juz 1 hal 539)

     Demikian pendapat Ulama Syafi'iyah tentang selamatan kematian, yaitu mereka sepakat, bahwa amalan tersebut adalah bid'ah Munkarat.
     Dasar mereka adalah kesepakatan (ijma') sahabat Nabi SAW yang menganggap "haram" hukum amalan tersebut.

     Timbul pertanyaan, bagaimana kalau hidangan-hidangan tersebut diniatkan sebagai sedekah ?
Pertanyaan semacam ini dapat dijawab ebagai berikut ; Bahwa sedelah itu akan lebih tepat mengena pada sasarannya, lebih berarti dan tentu lebih utama, kalau tidak diwujudkan dalam bentuk selamatan atau walimahan, tapi diberikan langsung kepada Fuqoro, masakin, sebab dalam acara selamatan, kebanyakan yang hadir atau yang diundang adalah orang-orang yang mampu (the have), sehingga apa yang diniatkan sebagai sedekah itu tentu akan kurang berarti bagi mereka, kalau tidak boleh dikatakan hampir tidak berarti atau tidak berarti sama sekali. ini kalau dipandang sebagai ma'na sedekah itu dari segi kepentingan materiil para fuqara, masakin.

     Dan juga kalau amalan tersebut diniatkan sebagai sedekah, maka akan terjadi talbisul haq bil bathil (mencampur aduk antara yang haq dengan yang bathil). Sebab disatu pihak, sedekah adalah diperintahkan Agama, sedang di pihal lain, yakni berkumpul dengan hidangan makanan di rumah ahli mayit adalah haram, dan mengirim pahala bacaan itu sendiri juga perbutan sia-sia. Disinilah letaknya, bahwa kalau hidangan makanan itu diniatkan sebagai sedekah, maka akan terjadi campur aduk antara yang haq dan yang bathil.


SANTUNAN UNTUK KELUARGA MAYIT
     berikutnya...

(Sumber : Makalah Pengajian Yayasan Jannah)


Wassalamu'alaikumWr Wb


    





2 komentar:

  1. Tahlilan 7hr,40hr,100hr dst itu dari agama Hindu,cuma sebagian orang islam menjalani ritual tersebut dengan mengganti do'a agama Hindu dengan Do'a agama Islam. Bukankah cara beribadah umat islam itu udah diatur dalam Al'quran dan sunah rasul!kita tinggal mengikuti apa yang telah dikerjakan oleh rasul tanpa hrs menambah dan menguranginya....

    BalasHapus